NUSAIDAMAN

Selamat Datang, Teman... Terima Kasih sudah berkunjung...

Selasa, 27 Januari 2009

Hingga menapakkan kaki di surga-Nya

Asli mana?
- Makassar
Di surabaya sejak kapan?
- Baru koq, belum setahun
Disini kuliah ato kerja?
- Kerja.
Ada sodara gak disini?
- Ada siy, tp saya gak tinggal sm mereka. Kos2an.
Udah punya pacar blum?
- Tidak.
Ah, gak yakin aku. Pacarnya orang makasar juga ya?
- Lho, aq bilang gak ada. Aq ga niat pacaran
Masa sih? Pacaran atuh, gimana caranya kenal sm calon suaminya kalo gak pacaran
- .....................(@#$!?^&>*)

Entah sudah orang keberapa yg menanyakan hal itu padaku. Awalnya cuman pertanyaan basa-basi, tapi selalu dilanjutkan dengan pertanyaan terakhir itu. Gak tau deh, apa mereka cuman sekedar bertanya, sekedar ice breaking gitu, ato mereka memang betul-betul ingin tau tentang hal itu. Namun yang ada, kalo aku menjawab ”tidak” mereka dengan kompak mengatakan ”ah, gak mungkin”

Lho? Sebenarnya mereka tu niat bertanya gak sih? Koq kayak maksa aku buat bilang ”iya”? Dan apa sy harus menjawab ”iya” untuk sesuatu yg jelas2 jawabannya adalah ”tidak”???
Tidak. Bukan ”belum”. Karena aq memang tidak pernah berniat untuk memilikinya.

Sebenarnya pengen banget selalu menjelaskan ini ke mereka. Bahwa gak ada yg namanya gituan. Sampe gemes banget liat pemahaman mereka, bahwa pacaran adalah sesuatu yg harus dilewati sebelum menikah. Tapi gimana caranya yak kalo pembicaraan itu terjadi di warung makan saat gw lagi nunggu pesanan makanan gw, di halte saat gw lagi nunggu angkot, ato di tempat rame lainnya. Bbeugh...

Jadi ingat dengan pembicaraan salah seorang teman, kalo ada saatnya kita perlu untuk berbicara, jika memang dibutuhkan. Namun juga ada saatnya kita hanya perlu diam, untuk membiarkan sesuatu itu berlalu, dan selese.

Selama ini jika berhadapan lagi dengan situasi kayak gitu, gw lebih milih diam, and let it go. Cara ini gw ambil karena gw pikir akan butuh waktu yang tidak sebentar buat memasukkan pemikiran ini pada mindset mereka. Tapi tiba-tiba di detik ini gw jadi mikir lagi, apa yg gw lakukan –mendiamkan semua ocehan mereka- itu udah cara yg benar?

Tepatnya setelah membaca lagi memoar Imam Syahid Hasan Al-Banna. Bagaimana beliau tak memerlukan forum yg resmi untuk menyampaikan pemikiran dan idenya, yg kemudian menjadi acuan bagi sapa pun yg ingin menjadikan dakwah sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bukankah kedai kopi tak jarang menjadi tempat beliau menyebarkan ajaran mulia ini?

Ah... kembali rasa malu menyergap, menyadari betapa dangkalnya ilmu yg kumiliki. Betapa serangkaian alasan selalu dan selalu saja menjadi penghalang untuk menyampaikan walau hanya satu ayat.

Ternyata masih banyak yang harus dibenahi. Masih banyak PR, masih setumpuk tugas yang belum terselesaikan. Tugas yang tak akan pernah selesai, hingga tapak kaki ini melangkah menuju surga-Nya. Amiin. Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda